Penalaran Deduktif

Sunday, March 30, 2014

Penalaran Deduktif
Penalaran Deduktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku khusus berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat umum. Proses penalaran ini disebut Deduksi. Kesimpulan deduktif dibentuk dengan cara deduksi. Yakni dimulai dari hal-hal umum, menuku kepada hal-hal yang khusus atau hal-hal yang lebih rendah. Proses pembentukan kesimpulan deduktif tersebut dapat dimulai dari suatu dalil atau hukum menuju kepada hal-hal yang kongkrit. Contoh : Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status social.
 Macam-macam Penalaran Deduktif
Macam-macam penalaran deduktif diantaranya :
a. Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Dengan fakta lain bahwa silogisme adalah rangkaian 3 buah pendapat, yang terdiri dari 2 pendapat dan 1 kesimpulan.
b. Entimen
Entimen adalah penalaran deduksi secara langsung. Dan dapat dikatakan pula silogisme premisnya dihilangkan atau tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.

Penarikan kesimpulan deduktif dibagi menjadi dua, yaitu penarikan langsung dan tidak langsung.

1.      Penarikan simpulan secara langsung
Simpulan secara langsung adalah penarikan simpulan yang ditarik dari satu premis. Premis yaitu prosisi tempat menarik simpulan.
Simpulan secara langsung:
1.      Semua S adalah P. (premis)
Sebagian P adalah S. (simpulan)

Contoh: Semua manusia mempunyai rambut. (premis)
               Sebagian yang mempunyai rambut adalah manusia. (simpulan)

2.      Semua S adalah P. (premis)
Tidak satu pun S adalah tak-P. (simpulan)

Contoh: Semua pistol adalah senjata berbahaya. (premis)
               Tidak satu pun pistol adalah senjata tidak berbahaya. (simpulan)

3.      Tidak satu pun S adalah P. (premis)
Semua S adalah tak-P. (simpulan)

Contoh: Tidak seekor pun gajah adalah jerapah. (premis)
               Semua gajah adalah bukan jerapah. (simpulan)

4.      Semua S adalah P. (premis)
Tidak satu-pun S adalah tak P. (simpulan)
Tidak satu-pun tak P adalah S. (simpulan)

Contoh: Semua kucing adalah berbulu. (premis)
               Tidak satu pun kucing adalah takberbulu. (simpulan)
               Tidak satupun yang takberbulu adalah kucing. (simpulan)

2.      Penarikan simpulan secara tidak langsung
Untuk penarikan simpulan secara tidak langsung diperlukan dua premis sebagai data. Dari dua premis tersebut akan menghasilkan sebuah simpulan. Premis yang pertama adalah premis yang bersifat umum dan premis yang kedua adalah premis yang bersifat khusus.
Jenis penalaran deduksi dengan penarikan simpulan tidak langsung, yaitu:
1.      Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). 
Contohnya:
-          Semua manusia akan mati
Ani adalah manusia
Jadi, Ani akan mati. (simpulan)

-          Semua manusia bijaksana
Semua dosen adalah manusia
Jadi, semua dosen bijaksana. (simpulan)

2.       Entimen
Entimen adalah penalaran deduksi secara tidak langsung. Dan dapat dikatakan silogisme premisnya dihilangkan atau tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.
Contohnya :
-          Proses fotosintesis memerlukan sinar matahari
Pada malam hari tidak ada sinar matahari
Pada malam hari tidak mungkin ada proses fotosintesis.

-          Semua ilmuwan adalah orang cerdas
Anto adalah seorang ilmuwan.
Jadi, Anto adalah orang cerdas.

Jadi, dengan demikian silogisme dapat dijadikan entimen. Sebaliknya, entimen   juga dapat dijadikan silogisme.


Cerpen : Cerita Cinta di Kedai kopi.

Tuesday, March 25, 2014

Nama           : Ima Mulia Masnaria
Npm            : 19211144
Tugas          : Bahasa Indonesia




Cerita cinta di kedai kopi.

Ada dua hal yang membuat saya jatuh cinta: Pertama cappuccino. Ya, saya sangat menyukai minuman kopi yang berasal dari Italia tersebut, walau sejarah mengatakan bahwa minuman ini ditemukan pertama kali bukan di Italia, namun di kota Wina Austria. Tepatnya saat pasukan di bawah Marco D’Aviano menemukan berkarung-karung kopi di markas pasukan Ottoman dari Turki musuh mereka dalam kondisi ditinggalkan.
Marco bersama pasukannya mencoba menikmati kopi, namun terlalu pahit bagi mereka di lidah, oleh karena itu mereka mencoba menetralisir rasa pahit tersebut dengan mencampur krim dan madu pada kopi, membuat warna kopi berubah dari yang tadinya hitam pekat menjadi  kecokelatan. Sewarna dengan jubah dan kopi yang dikenakan oleh capuchin. Sebuah ordo dari agama katolik pada tahun 1520.
Saya tidak bisa hidup tanpa cappuccino. 

Dalam sehari saya bisa meminum lima hingga tujuh kali. Saya selalu menyempatkan diri meminumnya di mana saja saya berada. Rumah, kantor, kedai kopi kecil di pinggir jalan, kafe-kafe mungil di sudut kota, hingga kafe-kafe besar yang tersebar di mall dan hotel berbintang. Saya pernah menyesap cappuccino di sana, merasakan hangatnya di pangkal jari, mencium aromanya yang tiada tara. Bahkan ketika kematian menjemput saya, hal terakhir yang ingin saya rasakan terakhir kalinya adalah cappuccino. Dengan begitu saya bisa mati tenang. Pergi ke surga atau neraka dua-duanya tidak jadi masalah selama disana disediakan cappuccino.

Kedua saya jatuh cinta dengan perempuan bernama Ria, perempuan berwajah kecil dengan lesung pipi yang tersemat pada bagian pipi sebelah kiri. Perempuan yang sudah lama saya kagumi. Berbeda dengan saya yang menyukai cappuccino, ia menyukai bulan.

“Thian, apa yang kamu suka di dunia ini?”

“Cappuccino.”

“Tidak ada yang lain?”

Aku menyukai dirimu.

“Sepertinya tidak ada, kalau kamu?”

“Aku menyukai Bulan.” Ucapnya sembari tersenyum kecil. Senyum termanis yang pernah saya lihat.

“Apa yang kamu suka dari Bulan?”

“Semuanya.”

****

Di sinilah saya berada sekarang, di sebuah kedai kopi kecil sederhana yang terapit di antara gedung-gedung bertingkat Jakarta, ditemani temaram cahaya lampu kedai saya sedang menunggu pesanan cappuccino untuk diantarkan. Saya memperhatikan jam di pergelangan tangan kiri saya, jarum menunjukkan di angka delapan. Seharusnya perempuan berlesung pipi penyuka bulan itu sudah sampai di kedai ini untuk duduk menemani saya berbincang-bincang. 

Apakah dia lupa dengan janji temu kita? Ah rasanya tidak mungkin, dia bukan tipikal perempuan yang tidak dapat menepati janji. Mungkin terkena macet. Atau mungkin tertidur? Entahlah saya harap dia akan datang. Oh ini dia cappuccino saya sudah datang diantarkan pramusaji.

Saya menghirup aroma hangat yang menguar dari gelas cappuccino lalu kemudian menyeruputnya secara perlahan. Sedetik kemudian saya berada dalam ujung kenikmatan yang tiada tara.
Sambil menyeruput cappuccino sesekali saya memperhatikan pengunjung kedai di sekeliling. Sebut ini aneh, tapi saya memang suka mengamati perilaku pengunjung kedai kopi. Pemandangan dimana manusia sedang tenggelam dengan kesendiriannya namun di lain sisi terlihat sangat intim dengan cairan kental yang dinamakan kopi menurut saya merupakan pemandangan yang indah, eksotik, dan sekaligus misterius.

Tepat pukul delapan lewat lima belas menit perempuan yang saya tunggu-tunggu akhirnya muncul. Saya melihat ia membuka pintu kedai berwarna cokelat. Saya melihat raut wajah bingungnya. Ia terus mencari-cari saya. Saya tertawa kecil karena air wajahnya yang terlihat sedang bingung pun masih menyisakan kecantikan yang mempesona.

Saya melambaikan tangan dari tempat saya duduk agar dia mudah menemukan saya. Dia melihat lambaian tangan saya. Dia ikut melambai Ia menuju kesini. Menghampiri saya dengan ayunan kaki yang teramat anggun dan senyuman termanis yang pernah saya lihat mala mini.
“Hei! Thian sudah lama menunggu?”

“Belum kok, hanya lima belas menit.”

“Maaf ya kalau lama, aku terlambat bangun soalnya.”

“Oh, gak apa apa kok, gak jadi masalah, kamu mau mesen apa?”


“Kamu pesen apa?”

“Cappuccino.”

“Selalu ya.”

Dia tertawa sebentar lalu kedua matanya sibuk memindai daftar menu kopi.

“Aku mau pesan black coffee saja.”

“Hah? Kopi pahit? Aku tidak yakin kalau kamu benar-benar menyukai kopi pahit.”

“Bukan untuk aku, tapi untuk kamu.”

“Aku? Aku tidak suka dengan kopi hitam, lagi pula aku sudah memesan cappuccino kan.”

“Tunggu hingga aku campur dengan bulan, kamu pasti menyukainya.”

“Bulan?” tanyaku heran.

“Iya.” Ia menjawab seraya menganggukkan kepala.

“Bulan? Maksudmu bulan di atas sana?” Tanya saya sembari melempar telunjuk ke langit-langit kedai.

“Iya.”  Dia kembali mengangguk. Meninggalkan sejuta tanda tanya dalam batok kepala saya.

“Tapi bagaimana caranya?”

Dia hanya melempar senyum untuk kesekian kalinya. Tanpa menghiraukan pertanyaan saya lantas ia bergegas memanggil pramusaji dan memesan black coffee dengan penuh percaya diri. Pramusaji dengan tanggap mencatat pesanan lalu mengatakan pesanan akan siap diantar dalam waktu kurang dari lima menit.
Selama lima menit kami menghabiskan waktu untuk mengobrol hal kecil. Dan selama lima menit saya tidak bisa memalingkan kedua mata ini dari wajahnya. Saya bisa merasakan Frankie Valli sedang menyanyikan can’t take my eyes off you dalam kepala.

Lima menit kemudian kopi hitam pesanannya diantar ke meja kita berdua. Lalu ia menyuruh saya untuk menenggak habis cappuccino yang tadi saya pesan dan meminta saya untuk sejenak memperhatikan apa yang akan ia lakukan dengan black coffee pesanannya.

“Perhatikan ini.”

Saya melihat ia mulai membuka tas burberry nya dan mencoba mengeluarkan sebuah benda yang berpendar-pendar dari dalam tas itu. Saya masih bertanya-tanya bagaimana bisa sebuah bulan dapat masuk ke dalam tas yang ukurannya tidak seberapa itu?

Saya melihat cahaya kekuningan yang berpendar dari dalam tas itu. Cahaya itu sangat menyilaukan hingga menarik perhatian satu dua pengunjung kedai yang letak tempat duduknya tidak jauh dari kita.
Ria menaruh sebuah benda yang berkilauan di telapak tangannya. Saya bisa melihat wajahnya yang manis terkena tempias cahaya kekuningan yang berasal dari objek tersebut.

“I-itu beneran bulan?” tanya saya.

“Iya.”

“Bagaimana kamu mengambilnya?”

“Tidak aku ambil kok, aku hanya memotongnya setengah?”

“Setengah maksud kamu?”

“Setengah lagi masih berada di atas.”

Saya berjalan mendekati jendela. Mencoba mengamati langit di angkasa, dan apa yang saya temukan? Saya melihat bulan sabit sedang terayun dengan tenang di atas sana. Saya mengalihkan pandangan saya dengan objek yang mengilat-ngilat di atas telapak tangan Ria.

“Iya kamu benar, di atas sana bulan tampak setengah, seingat saya saat dalam perjalanan menuju ke sini bulan sedang tampak penuh.”

“Perhatikan ini.”

Ria mencelupkan potongan setengah bulan yang berada di atas telapak tangannya ke dalam cairan kopi hitam yang baru saja dipesannya. secara perlahan-lahan warna kopi yang berwarna hitam pekat itu berangsur-angsur berubah menjadi kekuningan dan mengeluarkan cahaya keemasan yang mengilat-ngilat. Saya bisa melihat bagaimana meja kami menjadi begitu terang karena cahaya di dalam gelas mampu menyinarinya.


“Minum deh.” Katanya.

“Minum?”

“Iya, minum.”

Lantas saya menyeruputnya dengan perasaan ragu-ragu di awal, namun ketika lidah saya mulai mencecapnya, saya bisa mengatakan kalau ini adalah cappuccino dengan rasa ternikmat yang pernah saya minum selama hidup saya.

“Ini enak sekali.” Ujar saya.

“Benerkan?” Ia bertanya sambil tertawa kecil.

“Kapan aku bisa meminum cappuccino dengan campuran bulan buatan kamu lagi?”

“Aku tidak tahu, tapi begini saja, ketika bulan tidak ada lagi di langit-langit bagaimana bila kamu sesegera mungkin datang ke kedai kopi ini kembali, karena itu pertanda aku sedang menunggu kamu untuk menikmati segelas black coffee dengan potongan setengah bulan yang masih tersisa. Bagaimana?”

“Boleh, ide bagus!” Jawab saya dengan riang.
Malam itu kami menghabiskan obrolan seputar kedai kopi, bulan dan cappuccino.


****
Sudah empat bulan lamanya saya terus memperhatikan langit setiap malam. Memastikan bahwa bulan tidak lagi bersinar, karena ketika bulan tidak lagi bersinar itu pertanda kalau potongan setengah bulan di langit angkasa sudah diambil olehnya untuk kemudian dicelupkan ke dalam kopi hitam pekat yang ia pesan di kedai kopi tempat kali pertama kita berjumpa. 

Dan hal yang harus saya lakukan ketika tidak ada lagi bulan yang menggantung di angkasa adalah secepat mungkin pergi menuju ke kedai itu. Karena di situ lah dirinya akan menunggu saya. Entah untuk  apa ia menunggu saya di kedai itu untuk kedua kalinya. Mungkin ia ingin mempersembahkan potongan terakhir bulan yang ia celupkan ke dalam kopi hitam kepada saya? Atau jangan-jangan selama ini ternyata dirinya menyukai saya dan ia ingin mengungkapkan hal itu kepada saya di kedai yang sama? oh tidak mengapa jadi saya yang terlalu percaya diri?

Namun sudah empat bulan ini saya tidak melihat tanda-tanda kalau bulan sudah lenyap dari angkasa. Karena saya masih bisa melihat bagian setengah bulan yang menggantung dan mengeluarkan cahaya keemasan.

****
Enam bulan kemudian, tepatnya ketika saya sedang menelusuri jalanan sepi sehabis pulang dari kantor. Saya mendapati langit begitu gelap tanpa cahaya. Tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa potongan setengah bulan sudah raib dari langit angkasa. Dengan secepat mungkin saya berusaha kembali ke kedai kopi itu. Saya memberhentikan taksi di tengah jalan dan memaksa sang supir untuk pergi ke sebuah kedai kopi kecil di bilangan Selatan Jakarta. Namun naas kemacetan menghambat jalannya taksi, dengan cepat saya keluar dari taksi dan memutuskan untuk berlari menyeberangi lautan kemacetan. Berlari dan terus berlari untuk sampai di muka pintu kedai kopi kecil itu. Saya berlari dengan cepat hingga bisa merasakan setiap hembusan napas berat yang masuk dan keluar melalui paru-paru ini.

Dengan napas yang tersengal akhirnya saya tiba di depan muka pintu kedai. Saya bisa melihat cahaya keemasan yang mengilat di antara tempat duduk pengunjung melalui kaca depan pintu. Saya tidak sabar. Sungguh tidak sabar guna melihat perempuan yang sudah lama diam-diam aku cintai sedang menungguku dengan segelas kopi hitam bercampur potongan setengah bulan.
Saya membuka daun pintu, dan cahaya keemasan itu semakin terang, saya berjalan menuju posisi tempat duduk dimana saat kita duduk enam bulan yang lalu. Saya mendapati bagian punggungnya. Saya tersenyum. Saya berjalan mendekatinya tak sabar untuk memegang pundaknya dan mengatakan hi aku datang untuk kamu.

Namun alangkah terkejutnya saya ketika mendapati sosok lelaki lain di hadapannya yang sedang menyeruput satu gelas kopi yang berpendar-pendar mengeluarkan cahaya.
Perempuan ini menyapaku dan memperkenalkan lelaki yang dihadapannya.

“Thian, kenalin ini pacar aku.”


Saya terhenyak dan masih tidak percaya. Saya menjabat tangan lelaki itu. Mencoba terlihat bersahabat.

“Thian”

“Matthew.”

http://www.gunadarma.ac.id/

http://studentsite.gunadarma.ac.id/login.php