Nama :
Ima Mulia Masnaria
Npm :
19211144
Tugas : Bahasa Indonesia
Cerita
cinta di kedai kopi.
Ada dua hal yang membuat saya jatuh cinta: Pertama
cappuccino. Ya, saya sangat menyukai minuman kopi yang berasal dari Italia
tersebut, walau sejarah mengatakan bahwa minuman ini ditemukan pertama kali
bukan di Italia, namun di kota Wina Austria. Tepatnya saat pasukan di bawah
Marco D’Aviano menemukan berkarung-karung kopi di markas pasukan Ottoman dari Turki
musuh mereka dalam kondisi ditinggalkan.
Marco bersama pasukannya mencoba menikmati kopi,
namun terlalu pahit bagi mereka di lidah, oleh karena itu mereka mencoba
menetralisir rasa pahit tersebut dengan mencampur krim dan madu pada kopi, membuat
warna kopi berubah dari yang tadinya hitam pekat menjadi kecokelatan. Sewarna dengan jubah dan kopi
yang dikenakan oleh capuchin. Sebuah
ordo dari agama katolik pada tahun 1520.
Saya tidak bisa hidup tanpa cappuccino.
Dalam sehari
saya bisa meminum lima hingga tujuh kali. Saya selalu menyempatkan diri meminumnya
di mana saja saya berada. Rumah, kantor, kedai kopi kecil di pinggir jalan,
kafe-kafe mungil di sudut kota, hingga kafe-kafe besar yang tersebar di mall
dan hotel berbintang. Saya pernah menyesap cappuccino di sana, merasakan
hangatnya di pangkal jari, mencium aromanya yang tiada tara. Bahkan ketika
kematian menjemput saya, hal terakhir yang ingin saya rasakan terakhir kalinya
adalah cappuccino. Dengan begitu saya bisa mati tenang. Pergi ke surga atau
neraka dua-duanya tidak jadi masalah selama disana disediakan cappuccino.
Kedua saya jatuh cinta dengan perempuan bernama Ria,
perempuan berwajah kecil dengan lesung pipi yang tersemat pada bagian pipi
sebelah kiri. Perempuan yang sudah lama saya kagumi. Berbeda dengan saya yang
menyukai cappuccino, ia menyukai bulan.
“Thian, apa yang kamu suka di dunia ini?”
“Cappuccino.”
“Tidak ada yang lain?”
Aku
menyukai dirimu.
“Sepertinya tidak ada, kalau kamu?”
“Aku menyukai Bulan.” Ucapnya sembari tersenyum
kecil. Senyum termanis yang pernah saya lihat.
“Apa yang kamu suka dari Bulan?”
“Semuanya.”
****
Di sinilah saya berada sekarang, di sebuah kedai
kopi kecil sederhana yang terapit di antara gedung-gedung bertingkat Jakarta,
ditemani temaram cahaya lampu kedai saya sedang menunggu pesanan cappuccino
untuk diantarkan. Saya memperhatikan jam di pergelangan tangan kiri saya, jarum
menunjukkan di angka delapan. Seharusnya perempuan berlesung pipi penyuka bulan
itu sudah sampai di kedai ini untuk duduk menemani saya berbincang-bincang.
Apakah
dia lupa dengan janji temu kita? Ah rasanya tidak mungkin, dia bukan tipikal
perempuan yang tidak dapat menepati janji. Mungkin terkena macet. Atau mungkin
tertidur? Entahlah saya harap dia akan datang. Oh ini dia cappuccino saya sudah
datang diantarkan pramusaji.
Saya menghirup aroma hangat yang menguar dari gelas
cappuccino lalu kemudian menyeruputnya secara perlahan. Sedetik kemudian saya
berada dalam ujung kenikmatan yang tiada tara.
Sambil menyeruput cappuccino sesekali saya
memperhatikan pengunjung kedai di sekeliling. Sebut ini aneh, tapi saya memang
suka mengamati perilaku pengunjung kedai kopi. Pemandangan dimana manusia
sedang tenggelam dengan kesendiriannya namun di lain sisi terlihat sangat intim
dengan cairan kental yang dinamakan kopi menurut saya merupakan pemandangan
yang indah, eksotik, dan sekaligus misterius.
Tepat pukul delapan lewat lima belas menit perempuan
yang saya tunggu-tunggu akhirnya muncul. Saya melihat ia membuka pintu kedai
berwarna cokelat. Saya melihat raut wajah bingungnya. Ia terus mencari-cari
saya. Saya tertawa kecil karena air wajahnya yang terlihat sedang bingung pun
masih menyisakan kecantikan yang mempesona.
Saya melambaikan tangan dari tempat saya duduk agar
dia mudah menemukan saya. Dia melihat lambaian tangan saya. Dia ikut melambai
Ia menuju kesini. Menghampiri saya dengan ayunan kaki yang teramat anggun dan
senyuman termanis yang pernah saya lihat mala mini.
“Hei! Thian sudah lama menunggu?”
“Belum kok, hanya lima belas menit.”
“Maaf ya kalau lama, aku terlambat bangun soalnya.”
“Oh, gak apa apa kok, gak jadi masalah, kamu mau
mesen apa?”
“Kamu pesen apa?”
“Cappuccino.”
“Selalu ya.”
Dia tertawa sebentar lalu kedua matanya sibuk
memindai daftar menu kopi.
“Aku mau pesan black
coffee saja.”
“Hah? Kopi pahit? Aku tidak yakin kalau kamu
benar-benar menyukai kopi pahit.”
“Bukan untuk aku, tapi untuk kamu.”
“Aku? Aku tidak suka dengan kopi hitam, lagi pula
aku sudah memesan cappuccino kan.”
“Tunggu hingga aku campur dengan bulan, kamu pasti
menyukainya.”
“Bulan?” tanyaku heran.
“Iya.” Ia menjawab seraya menganggukkan kepala.
“Bulan? Maksudmu bulan di atas sana?” Tanya saya
sembari melempar telunjuk ke langit-langit kedai.
“Iya.” Dia kembali
mengangguk. Meninggalkan sejuta tanda tanya dalam batok kepala saya.
“Tapi bagaimana caranya?”
Dia hanya melempar senyum untuk kesekian kalinya.
Tanpa menghiraukan pertanyaan saya lantas ia bergegas memanggil pramusaji dan
memesan black coffee dengan penuh
percaya diri. Pramusaji dengan tanggap mencatat pesanan lalu mengatakan pesanan
akan siap diantar dalam waktu kurang dari lima menit.
Selama lima menit kami menghabiskan waktu untuk
mengobrol hal kecil. Dan selama lima menit saya tidak bisa memalingkan kedua
mata ini dari wajahnya. Saya bisa merasakan Frankie Valli sedang menyanyikan can’t take my eyes off you dalam kepala.
Lima menit kemudian kopi hitam pesanannya diantar ke
meja kita berdua. Lalu ia menyuruh saya untuk menenggak habis cappuccino yang
tadi saya pesan dan meminta saya untuk sejenak memperhatikan apa yang akan ia
lakukan dengan black coffee pesanannya.
“Perhatikan ini.”
Saya melihat ia mulai membuka tas burberry nya dan mencoba mengeluarkan
sebuah benda yang berpendar-pendar dari dalam tas itu. Saya masih
bertanya-tanya bagaimana bisa sebuah bulan dapat masuk ke dalam tas yang
ukurannya tidak seberapa itu?
Saya melihat cahaya kekuningan yang berpendar dari
dalam tas itu. Cahaya itu sangat menyilaukan hingga menarik perhatian satu dua
pengunjung kedai yang letak tempat duduknya tidak jauh dari kita.
Ria menaruh sebuah benda yang berkilauan di telapak
tangannya. Saya bisa melihat wajahnya yang manis terkena tempias cahaya
kekuningan yang berasal dari objek tersebut.
“I-itu beneran bulan?” tanya saya.
“Iya.”
“Bagaimana kamu mengambilnya?”
“Tidak aku ambil kok, aku hanya memotongnya
setengah?”
“Setengah maksud kamu?”
“Setengah lagi masih berada di atas.”
Saya berjalan mendekati jendela. Mencoba mengamati
langit di angkasa, dan apa yang saya temukan? Saya melihat bulan sabit sedang
terayun dengan tenang di atas sana. Saya mengalihkan pandangan saya dengan
objek yang mengilat-ngilat di atas telapak tangan Ria.
“Iya kamu benar, di atas sana bulan tampak setengah,
seingat saya saat dalam perjalanan menuju ke sini bulan sedang tampak penuh.”
“Perhatikan ini.”
Ria mencelupkan potongan setengah bulan yang berada
di atas telapak tangannya ke dalam cairan kopi hitam yang baru saja dipesannya.
secara perlahan-lahan warna kopi yang berwarna hitam pekat itu berangsur-angsur
berubah menjadi kekuningan dan mengeluarkan cahaya keemasan yang
mengilat-ngilat. Saya bisa melihat bagaimana meja kami menjadi begitu terang
karena cahaya di dalam gelas mampu menyinarinya.
“Minum deh.” Katanya.
“Minum?”
“Iya, minum.”
Lantas saya menyeruputnya dengan perasaan ragu-ragu
di awal, namun ketika lidah saya mulai mencecapnya, saya bisa mengatakan kalau
ini adalah cappuccino dengan rasa ternikmat yang pernah saya minum selama hidup
saya.
“Ini enak sekali.” Ujar saya.
“Benerkan?” Ia bertanya sambil tertawa kecil.
“Kapan aku bisa meminum cappuccino dengan campuran
bulan buatan kamu lagi?”
“Aku tidak tahu, tapi begini saja, ketika bulan
tidak ada lagi di langit-langit bagaimana bila kamu sesegera mungkin datang ke
kedai kopi ini kembali, karena itu pertanda aku sedang menunggu kamu untuk
menikmati segelas black coffee dengan potongan setengah bulan yang masih
tersisa. Bagaimana?”
“Boleh, ide bagus!” Jawab saya dengan riang.
Malam itu kami menghabiskan obrolan seputar kedai
kopi, bulan dan cappuccino.
****
Sudah empat bulan lamanya saya terus memperhatikan
langit setiap malam. Memastikan bahwa bulan tidak lagi bersinar, karena ketika
bulan tidak lagi bersinar itu pertanda kalau potongan setengah bulan di langit
angkasa sudah diambil olehnya untuk kemudian dicelupkan ke dalam kopi hitam
pekat yang ia pesan di kedai kopi tempat kali pertama kita berjumpa.
Dan hal yang harus saya lakukan ketika tidak ada
lagi bulan yang menggantung di angkasa adalah secepat mungkin pergi menuju ke kedai
itu. Karena di situ lah dirinya akan menunggu saya. Entah untuk apa ia menunggu saya di kedai itu untuk kedua
kalinya. Mungkin ia ingin mempersembahkan potongan terakhir bulan yang ia
celupkan ke dalam kopi hitam kepada saya? Atau jangan-jangan selama ini
ternyata dirinya menyukai saya dan ia ingin mengungkapkan hal itu kepada saya
di kedai yang sama? oh tidak mengapa jadi saya yang terlalu percaya diri?
Namun sudah empat bulan ini saya tidak melihat
tanda-tanda kalau bulan sudah lenyap dari angkasa. Karena saya masih bisa
melihat bagian setengah bulan yang menggantung dan mengeluarkan cahaya
keemasan.
****
Enam bulan kemudian, tepatnya ketika saya sedang
menelusuri jalanan sepi sehabis pulang dari kantor. Saya mendapati langit
begitu gelap tanpa cahaya. Tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa
potongan setengah bulan sudah raib dari langit angkasa. Dengan secepat mungkin
saya berusaha kembali ke kedai kopi itu. Saya memberhentikan taksi di tengah
jalan dan memaksa sang supir untuk pergi ke sebuah kedai kopi kecil di bilangan
Selatan Jakarta. Namun naas kemacetan menghambat jalannya taksi, dengan cepat
saya keluar dari taksi dan memutuskan untuk berlari menyeberangi lautan
kemacetan. Berlari dan terus berlari untuk sampai di muka pintu kedai kopi
kecil itu. Saya berlari dengan cepat hingga bisa merasakan setiap hembusan
napas berat yang masuk dan keluar melalui paru-paru ini.
Dengan napas yang tersengal akhirnya saya tiba di
depan muka pintu kedai. Saya bisa melihat cahaya keemasan yang mengilat di
antara tempat duduk pengunjung melalui kaca depan pintu. Saya tidak sabar.
Sungguh tidak sabar guna melihat perempuan yang sudah lama diam-diam aku cintai
sedang menungguku dengan segelas kopi hitam bercampur potongan setengah bulan.
Saya membuka daun pintu, dan cahaya keemasan itu
semakin terang, saya berjalan menuju posisi tempat duduk dimana saat kita duduk
enam bulan yang lalu. Saya mendapati bagian punggungnya. Saya tersenyum. Saya
berjalan mendekatinya tak sabar untuk memegang pundaknya dan mengatakan hi aku datang untuk kamu.
Namun alangkah terkejutnya saya ketika mendapati
sosok lelaki lain di hadapannya yang sedang menyeruput satu gelas kopi yang
berpendar-pendar mengeluarkan cahaya.
Perempuan ini menyapaku dan memperkenalkan lelaki
yang dihadapannya.
“Thian, kenalin ini pacar aku.”
Saya terhenyak dan masih tidak percaya. Saya menjabat
tangan lelaki itu. Mencoba terlihat bersahabat.
“Thian”
“Matthew.”
http://www.gunadarma.ac.id/
http://studentsite.gunadarma.ac.id/login.php