Mengapa
Koperasi di Indonesia
Tidak
Berkembang Dan Maju Secara Signifikan
Berdasarkan data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Jumlah Koperasi di Indonesia tercatat 103.000 unit lebih dengan keanggotaan
mencapai 26.000.000 orang. Dengan data seperti ini maka seharusnya koperasi
sudah dapat dikatakan sebagai salah satu sumber devisa negara serta dapat
memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, kenyataannya berbeda
jauh. Banyak koperasi di Indonesia yang sulit untuk berkembang karena adanya
beberapa faktor. Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi
menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan
penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan
masyarakat. Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi
secara keseluruhan.
Koperasi merupakan badan usaha bersama yang bertumpu pada
prinsip ekonomi kerakyatan yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Berbagai
kelebihan yang dimiliki oleh koperasi seperti efisiensi biaya serta dari
peningkatan economies of scale jelas menjadikan koperasi sebagai sebuah bentuk
badan usaha yang sangat prospekrif di Indonesia. Namun, sebuah fenomena yang
cukup dilematis ketika ternyata koperasi dengan berbagai kelebihannya ternyata
sangat sulit berkembang di Indonesia. Koperasi bagaikan mati suri dalam 15
tahun terakhir. Koperasi Indonesia yang berjalan di tempat atau justru malah
mengalami kemunduran.
Pasang-surut Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan
surut. Saat ini pertanyaannya adalah “Mengapa Koperasi sulit berkembang?”
Padahal, upaya pemerintah untuk memberdayakan Koperasi seolah tidak pernah
habis. Bahkan, bisa dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program
bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT),
pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke Koperasi, skim program
KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial
dari perbankan, Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan
gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus
yang menangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM
(Pengusaha Kecil Menengah), yang sebagai memacu gerakan ini untuk terus maju.
Namun, kenyataannya, Koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi
marjinal, pelaku bisnis yang perlu “dikasihani”.
Ilmu ekonomi ternyata tidak meningkatkan “kecintaan” para
ekonomi pada bangun perusahaan koperasi yang menonjolkan asas kekeluargaan,
karena sejak awal model-modelnya adalah model persaingan sempurna, bukan kerjasama sempurna. Ajaran ilmu
ekonomi Neoklasik adalah bahwa efisiensi yang tinggi hanya dapat dicapai
melalui persaingan sempurna. Inilah awal “ideologi”
ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max Weber, sosiolog Jerman, bapak
ilmu sosiologi ekonomi. Ajaran Max Weber ini sebenarnya sesuai dengan ajaran
awal Adam Smith (Theory of Moral
Sentiments, 1759) dan ajaran ekonomi kelembagaan dari John Commons
di Universitas Wisconsin (1910).
Koperasi yang merupakan ajaran ekonomi kelembagaan ala John Commons mengutamakan
keanggotaan yang tidak berdasarkan kekuatan modal tetapi berdasar pemilikan
usaha betapapun kecilnya. Koperasi adalah perkumpulan orang atau badan hukum
bukan perkumpulan modal. Koperasi hanya akan berhasil jika manajemennya
bersifat terbuka/transparan dan benar-benar partisipatif.
Berbeda
dengan koperasi pada umumnya, maka koperasi yang dimaksud oleh Pancasila dan
UUD 45 merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak
hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sehingga mewujudkan suatu Masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat
Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya
merupakan hak setiap warga negara.
Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan “homo ekonomikus”
melainkan lebih bersifat “homo societas”, lebih mementingkan hubungan antar
manusia ketimbang kepentingan materi/ekonomi (Jawa: Tuna sathak bathi
sanak), contoh : membangun rumah penduduk dengan sistim gotong-royong
(sambatan). Akibatnya di dalam sistem ekonomi liberal orang asli Indonesia
menjadi termarginalkan tidak ikut dalam gerak operasional mainstream sistem
ekonomi liberal yang menguasai sumber kesejahteraan ekonomi sehingga sampai
kapanpun rakyat Indonesia tidak akan mengenyam kesejahteraan.
1. Kurangnya
Partisipasi Anggota
Bagaimana
mereka bisa berpartisipasi lebih kalau mengerti saja tidak mengenai apa itu
koperasi. Hasilnya anggota koperasi tidak menunjukkan partisipasinya baik itu
kontributif maupun insentif terhadap kegiatan koperasi sendiri. Kurangnya
pendidikan serta pelatihan yang diberikan oleh pengurus kepada para anggota
koperasi ditengarai menjadi faktor utamanya, karena para pengurus beranggapan
hal tersebut tidak akan menghasilkan manfaat bagi diri mereka pribadi. Kegiatan
koperasi yang tidak berkembang membuat sumber modal menjadi terbatas.
Terbatasnya usaha ini akibat kurangnya dukungan serta kontribusi dari para
anggotanya untuk berpartisipasi membuat koperasi seperti stagnan. Oleh karena
itu, semua masalah berpangkal pada partisipasi anggota dalam mendukung
terbentuknya koperasi yang tangguh, dan memberikan manfaat bagi seluruh
anggotanya, serta masyarakat sekitar.
2. Sosialisasi
Koperasi
Tingkat
partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang
belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi itu
hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau
pinjaman. Artinya masyarakat belum tahu esensi dari koperasi itu sendiri, baik
dari sistem permodalan maupun sistem kepemilikanya. Mereka belum tahu betul
bahwa dalam koperasi konsumen juga berarti pemilik, dan mereka berhak
berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi miliknya serta berhak
mengawasi kinerja pengurus. Keadaan seperti ini tentu sangat rentan terhadap
penyelewengan dana oleh pengurus, karena tanpa partisipasi anggota tidak ada
kontrol dari anggota nya sendiri terhadap pengurus.
3. Manajemen
Manajemen
koperasi harus diarahkan pada orientasi strategik dan gerakan koperasi harus
memiliki manusia-manusia yang mampu menghimpun dan memobilisasikan berbagai
sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang usaha. Oleh karena itu
koperasi harus teliti dalam memilih pengurus maupun pengelola agar badan usaha
yang didirikan akan berkembang dengan baik.
Ketidak profesionalan
manajemen koperasi banyak terjadi di koperasi koperasi yang anggota dan
pengurusnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. contohnya banyak terjadi
pada KUD yang nota bene di daerah terpencil. Banyak sekali KUD yang bangkrut
karena manajemenya kurang profesional baik itu dalam sistem kelola usahanya,
dari segi sumberdaya manusianya maupun finansialnya. Banyak terjadi KUD yang
hanya menjadi tempat bagi pengurusnya yang korupsi akan dana bantuan dari
pemerintah yang banyak mengucur.
4. Permodalan
Kurang
berkembangnya koperasi juga berkaitan sekali dengan kondisi modal keuangan
badan usaha tersebut. Kendala modal itu bisa jadi karena kurang adanya dukungan
modal yang kuat dan dalam atau bahkan sebaliknya terlalu tergantungnya modal
dan sumber koperasi itu sendiri. Jadi untuk keluar dari masalah tersebut harus
dilakukan melalui terobosan structural, maksudnya dilakukannya restrukturasi dalam
penguasaan factor produksi, khususnya permodalan.
Kepala
Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Tengah Muhammad
Hajir Hadde, SE. MM menyebutkan salah satu hambatan yang dihadapi selama ini
diantaranya manajemen dan modal usaha. Hal itu dikatakannya dihadapan
peserta Diklat Koperasi Simpan Pinjam KSP dan Unit Simpan Pinjam USP yang saat
ini sedang berlangsung di Palu. Untuk mengantisipasi berbagai hambatan
dimaksud khususnya manajemen Dinas Kumperindag selaku leading sector terus berupaya
mengatasinya melalui pendidikan dan pelatihan serta pemberian modal usaha.
5. Sumber Daya
Manusia
Banyak
anggota, pengurus maupun pengelola koperasi kurang bisa mendukung jalannya
koperasi. Dengan kondisi seperti ini maka koperasi berjalan dengan tidak
profesional dalam artian tidak dijalankan sesuai dengan kaidah sebagimana usaha
lainnya.
Dari
sisi keanggotaan, sering kali pendirian koperasi itu didasarkan pada dorongan
yang dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya pendirian koperasi didasarkan bukan
dari bawah melainkan dari atas. Pengurus yang dipilih dalam rapat anggota
seringkali dipilih berdasarkan status sosial dalam masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian pengelolaan koperasi dijalankan dengan kurang adanya control
yang ketat dari para anggotanya.
Pengelola
ynag ditunjuk oleh pengurus seringkali diambil dari kalangan yang kurang
profesional. Sering kali pengelola yang diambil bukan dari yang berpengalaman
baik dari sisi akademis maupun penerapan dalam wirausaha.
6. Kurangnya
Kesadaran Masyarakat
Perkembangan
koperasi di Indonesia yang dimulai dari atas (bottom up) tetapi dari atas (top
down),artinya koperasi berkembang di indonesia bukan dari kesadaran masyarakat,
tetapi muncul dari dukungan pemerintah yang disosialisasikan ke bawah. Berbeda
dengan yang di luar negeri, koperasi terbentuk karena adanya kesadaran
masyarakat untuk saling membantu memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan yang
merupakan tujuan koperasi itu sendiri, sehingga pemerintah tinggal menjadi
pendukung dan pelindung saja. Di Indonesia, pemerintah bekerja double selain
mendukung juga harus mensosialisasikanya dulu ke bawah sehingga rakyat menjadi
mengerti akan manfaat dan tujuan dari koperasi.
7. “Pemanjaan
Koperasi”
Pemerintah
terlalu memanjakan koperasi, ini juga menjadi alasan kuat mengapa koperasi
Indonesia tidak maju maju. Koperasi banyak dibantu pemerintah lewat dana dana
segar tanpa ada pengawasan terhadap bantuan tersebut. Sifat bantuanya pun tidak
wajib dikembalikan. Tentu saja ini menjadi bantuan yang tidak mendidik, koperasi
menjadi ”manja” dan tidak mandiri hanya menunggu bantuan selanjutnya dari
pemerintah. Selain merugikan pemerintah bantuan seperti ini pula akan
menjadikan koperasi tidak bisa bersaing karena terus terusan menjadi benalu
negara. Seharusnya pemerintah mengucurkan bantuan dengan sistem pengawasan nya
yang baik, walaupun dananya bentuknya hibah yang tidak perlu dikembalikan.
Dengan demikian akan membantu koperasi menjadi lebih profesional, mandiri dan
mampu bersaing.
8. Demokrasi ekonomi
yang kurang
Dalam
arti kata demokrasi ekonomi yang kurang ini dapat diartikan bahwa masih ada
banyak koperasi yang tidak diberikan keleluasaan dalam menjalankan setiap
tindakannya. Setiap koperasi seharusnya dapat secara leluasa memberikan
pelayanan terhadap masyarakat, karena koperasi sangat membantu meningkatkan
tingkat kesejahteraan rakyat oleh segala jasa – jasa yang diberikan, tetapi hal
tersebut sangat jauh dari apa ayang kita piirkan. Keleluasaan yang dilakukan
oleh badan koperasi masih sangat minim, dapat dicontohkan bahwa KUD tidak dapat
memberikan pinjaman terhadap masyarakat dalam memberikan pinjaman, untuk usaha
masyarakat itu sendiri tanpa melalui persetujuan oleh tingkat kecamatan dll.
Oleh karena itu seharusnya koperasi diberikan sedikit keleluasaan untuk memberikan
pelayanan terhadap anggotanya secara lebih mudah, tanpa syarat yang sangat
sulit.
9.
Harga Barang di Koperasi Lebih Mahal Dibandingkan Harga Pasar
Masyarakat
jadi enggan untuk membeli barang dikoperasi karena harganya yang lebih mahal
dibandingkan harga pasar. Bagi masyarakat Indonesia konsumen akan memilih untuk
membeli suatu barang dengan harga yang murah dengan kualitas yang sama atau
bahkan lebih baik dibandingkan dengan koperasi. Dengan enggannya
masyarakat untuk bertransaksi di koperasi sudah pasti laba yang dihasilkan oleh
koperasi-pun sedikit bahkan merugi sehingga perkembangan koperasi berjalan
lamban bahkan tidak berjalan sama sekali.
10. Kurangnya
Promosi dan Sosialisasi
Promosi
diperlukan agar masyarakat tahu tentang koperasi tersebut. Pemerintah dengan
gencarnya melalui media massa mensosialisasikan Koperasi kepada masyarakat
namun jika sosialisasi hanya dilakukan dengan media massa mungkin hanya akan
“numpang lewat” saja. Memang benar dengan mensosialisasikan melalui media massa
akan lebih efektif untuk masyarakat mengetahuinya, namun dengan sosialisasi
secara langsung untuk terjun kelapangan akan lebih efektif karena penyampaian
yang lebih mudah dipahami. Dalam masalah promosi barang yang dijual di suatu
koperasi juga mengalami kendala seperti kurangnya promo yang ditawarkan dan
kurang kreatifnya koperasi untuk mempromosikan sehingga minat masyarakat juga
berkurang untuk dapat ikut serta dalam koperasi.
Sebenarnya, secara umum permasalahan yang dihadapi koperasi dapat di kelompokan
terhadap 2 masalah. Yaitu :
A. Permasalahan
Internal
- Kebanyakan pengurus koperasi telah
lanjut usia sehingga kapasitasnya terbatas;
- Pengurus koperasi juga tokoh dalam
masyarakat, sehingga “rangkap jabatan” ini menimbulkan akibat bahwa fokus
perhatiannya terhadap pengelolaan koperasi berkurang sehingga kurang
menyadari adanya perubahan-perubahan lingkungan;
- Bahwa ketidakpercayaan anggota
koperasi menimbulkan kesulitan dalam memulihkannya;
- Oleh karena terbatasnya dana maka
tidak dilakukan usaha pemeliharaan fasilitas (mesin-mesin), padahal
teknologi berkembang pesat; hal ini mengakibatkan harga pokok yang relatif
tinggi sehingga mengurangi kekuatan bersaing koperasi;
- Administrasi kegiatan-kegiatan
belum memenuhi standar tertentu sehingga menyediakan data untuk
pengambilan keputusan tidak lengkap; demikian pula data statistis
kebanyakan kurang memenuhi kebutuhan;
- Kebanyakan anggota kurang
solidaritas untuk berkoperasi di lain pihak anggota banyak berhutang
kepada koperasi;
- Dengan modal usaha yang relatif
kecil maka volume usaha terbatas; akan tetapi bila ingin memperbesar
volume kegiatan, keterampilan yang dimiliki tidak mampu menanggulangi
usaha besar-besaran; juga karena insentif rendah sehingga orang tidak
tergerak hatinya menjalankan usaha besar yang kompleks.
B.Permasalahan
eksternal
- Bertambahnya persaingan dari badan
usaha yang lain yang secara bebas memasuki bidang usaha yang sedang
ditangani oleh koperasi;
- Karena dicabutnya
fasilitas-fasilitas tertentu koperasi tidak dapat lagi menjalankan
usahanya dengan baik, misalnya usaha penyaluran pupuk yang pada waktu lalu
disalurkan oleh koperasi melalui koperta sekarang tidak lagi sehingga
terpaksa mencari sendiri.
- Tanggapan masyarakat sendiri
terhadap koperasi; karena kegagalan koperasi pada waktu yang lalu tanpa
adanya pertanggungjawaban kepada masyarakat yang menimbulkan
ketidakpercayaan pada masyarakat tentang pengelolaan koperasi;
- Tingkat harga yang selalu berubah
(naik) sehingga pendapatan penjualan sekarang tidak dapat dimanfaatkan
untuk meneruskan usaha, justru menciutkan usaha.
Persoalan-persoalan
yang dihadapi koperasi kiranya menjadi relatif lebih akut, kronis, lebih berat
oleh karena beberapa sebab :
- Kenyataan bahwa pengurus atau
anggota koperasi sudah terbiasa dengan sistem penjatahan sehingga mereka
dahulu hanya tinggal berproduksi, bahan mentah tersedia, pemasaran sudah
ada salurannya, juga karena sifat pasar “sellers market” berhubungan dengan
pemerintah dalam melaksanakan politik. Sekarang sistem ekonomi terbuka
dengan ciri khas : “persaingan”. Kiranya diperlukan penyesuaian diri dan
ini memakan waktu cukup lama.
- Para anggota dan pengurus mungkin
kurang pengetahuan/skills dalam manajemen. Harus ada minat untuk
memperkembangkan diri menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi.
- Oleh karena pemikiran yang sempit
timbul usaha “manipulasi” tertentu, misalnya dalam hal alokasi order/
tugas-tugas karena kecilnya “kesempatan yang ada” maka orang cenderung
untuk memanfaatkan sesuatu untuk dirinya terlebih dahulu.
- Pentingnya rasa kesetiaan
(loyalitas) anggota; tetapi karena anggota berusaha secara individual (tak
percaya lagi kepada koperasi) tidak ada waktu untuk berkomunikasi, tidak
ada pemberian dan penerimaan informasi, tidak ada tujuan yang harmonis
antara anggota dan koperasi dan seterusnya, sehingga persoalan yang
dihadapi koperasi dapat menghambat perkembangan koperasi.